Emosi dalam Diri

marah

Oleh: Irdha Diah 

Kesedihanku tadi pagi, tak berarti. Tangisku ketika sendiri, tak berguna...
Tapi kenapa harus aku???
Itulah yang terasa pilu, sesak, duka, penuh air mata...
Entah kenapa lemah itu sempat menguasai. Harusnya tidak.
Bisikan berkata menggoda iman.
Menyuruhku mengakhiri perjuangan.
Menyuruhku marah dan kesal pada semua orang.
Mengajakku pergi ke taman, untuk menumpahkan segala penat, sesak, marah, dan kesal.

Namun semua bayangan itu urung ku lakukan.
Aku lebih memilih membasahi bantalku dengan air mata cengeng ini.
Benar-benar merasa sendiri.

Saat aku benar-benar menghabiskan tisu banyak, kudengar lantunan ayat suci Al-Qur'an.
Hatiku terpaut, terpancing utntuk membacanya. 
Ide bagus, pikirku.
Kubuka, kubaca ta'awudz dan basmallah.
Yang terjadi melah tambah parah.
Tangisku semakin pecah.
Pandangan mataku buram oleh kabut air mata. 
Bukan karena hal yang tadi, tapi karena perasaan bersalah dan mohon ampun pada-Nya.
Kututup dan kembali menangis, merenung.

Ada sedikit motivasi menyemangati diri sendiri, namun semangat itu kalah hebatnya dibandingkan emosi yang meluap-luap.
Seorang calon psikiatri dari IAIN berkata dan menasihati, bahwa di organisasi ini memang tidak mudah. Modalnya hanya ikhlas. Tidak begitu terasa balasannya di dunia, tapi itu menjadi tabungan di akhirat.


Sekarang aku tau...
Emosi harus dikendalikan...

Ungaran, 24 Juni 2012.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hakikat dan iman kepada kitab Allah

Secuplik Kisah tentang Program dan Perencanaan

Waktu yang Terus Berjalan